TAFSIR SURAH AS-SAJDAH AYAT 4-6
BAB I
PENDAHULUAN
Alam semesta merupakan karya sang kreator yang maha agung
lagi maha kuasa dalam segala hal. Tiada kekurangan yang tertinggal dari
ciptaanya itu. Maha suci atas segalanya.
Allah SWT telah berfirman tentang alam semesta dalam
kitab-Nya yakni al-Qur'an yang berbunyi:
ان في خلق السموات والارض واختلاف
اليل والنهار لايت لاللي الالباب (ال عمران : 190)
Artinya:
Sesungguhnya dalam prenciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-oranga yanga berpikir. (QS. Ali Imron:190).
Alam semesta merupakan segala yang ada di langit dan bumi,
atau keseluruhan alam baik itu alam fisik maupun non fisik, al-samawat wal ardh
wa ma bainahuma (sesuatu yang ada di langit dan di bumi serta segala yang ada
di antara keduanya). Di dalamnya terdapat fenomena-fenomena alam yang sangat
menarik apabila dibahas, mulai dari bagaimana alam ini bisa muncul,
kejadian-kejadian yang ada, sampai rahasia apa di balik semuanya itu. Tentu
dalam memahami alam tidak terlepas dari ayat-ayat al-Qur’an yang kemudian
ditafsirkan berdasarkan keimanan mengenai ayat itu dan pembuktian real melalui
akal pikiran manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Alam Semesta
Pengertian alam semesta adalah semua benda yang berada di
ruang angkasa yang mencakup tentang mikrokosmos dan makrokosmos. Mikrokosmos
merupkan benda-benda yang mempunyai ukuran yang sangat kecil, misalnya atom,
elektron, sel, amuba dan sebagainya. Sedangkan makrokosmos merupakan
benda-benda yang mempunyai peran yang sangat besar misalnya bintang, planet dan
galaksi.
Namun para ahli astromomi mendefinisikan alam semesta dalam
pengertian yang lebih spesifik yaitu tentang ruang angkasa dan benda-benda
langit yg ada di dalamnya.
B. Surah
As-Sajdah Ayat 4-6 tentang proses terjadinya alam semesta
C. Tafsir
Surah As-Sajdah Ayat 4-6
Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an dan pemelihara
semesta alam itu adalah Allah yang
menciptakan langit yang berlapis tujuh itu dan bumi tempat kamu berada dan
Dia juga yang menciptakan apa yang ada
diantara keduanya. Semua itu tercipta dalam
enam hari – Walau dia kuasa menciptakan dalam sekejap, kemudian yang lebih
hebat dari itu adalah Dia bersemayam di atas
‘Arsy dengan cara yang layak bagi diri-Nya. Tidak ada bagi kamu selain-Nya seorang penolong pun dan tidak ada juga
seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memperhatikan dengan
perhatian yang penuh?
Perbedaan pendapat tentang makna kata (
) sittati ayyam/ enam hari.
Kata hari disini tidak selalu
diartikan dalam waktu 24 jam, tetapi ia digunakan untuk menunjuk periode atau
masa tertentu yang sangat panjang ataupun singkat. Atas dasar ini, sementara
ulama memahami kata hari disini dalam
arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan berapa lama
waktu tersebut.
Zaghlul An-Najjar menguraikan bahwa proses
penciptaan alam raya yang melalui enam periode itu adalah sebagai berikut:
Periode pertama adalah proses Ar-Ratq yakni gumpalan yang
menyatu. Ini merupakan asal kejadian langit dan bumi.
Periode kedua adalah Al-Fatq yakni masa terjadinya dentuman dahsyat Big Bang yang
mengakibatkan terjadinya awan/kabut asap.
Periode ketiga adalah terciptanya unsur-unsur pembentukan
langit yang terjadi melalui gas hidrogen dan helium.
Periode keempat adalah terciptangya bumi dan
benda-benda angkasa dengan berpisahnya awan berasap itu serta memadatnya akibat
daya tarik.
Periode kelima adalah masa penghamparan bumi serta
pembentukan kulit bumi lalu pemecahannya, pergerakan oasis dan pembentukan
benua-benua dan gunung-gunung serta sungai-sungai dan lain-lain.
Periode keenam adalah periode pembentukan kehidupan
dalam bentuk yang paling sederhana hingga penciptaan manusia.
Firman-Nya: ( )
tsumma istawa ‘ala al-arsy, juga
menjadi bahasan para ulama. Imam malik ketika ditanya makna tersebut menjawab
“kata ( ) istawa dikenal
oleh bahasa, tetapi kaifiat/caranya tidak diketahui, mempercayainya adalah
wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Tetapi para ulama sesudah adad ke-III,
berupaya menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata istawa dari makna dasarnya, yaitu bersemayam ke makna majazi yaitu
“berkuasa”, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang
kekuasaan Allah SWT dalam mengatur dan mengendalikan alam raya.
Kata ( ) tsumma/kemudian bukan dimaksudkan untuk
menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan betapa jauh tingkat
penguasaan ‘Arsy, disbanding dengan penciptaan langit dan bumi.
Kata ( ) syafi’
terambil dari akar kata ( ) asy-syaf
yang berarti genap atau bisa di artikan dengan syafaat. Al-Qur’an menggunakan
kata ( ) tatadzakkarun
dengan dua ta’ karena itu mengesankan besar dan penuhnya perhatian yang
dituntut.
Kata ( ) yudabbir
terambil dari kata ( ) dubur yang berarti belakang. Kata ini digunakan untuk menjelaskan pemikiran atau
pengaturan sedemikian rupa sehingga apa yang terjadi di belakang yakni kesudahan, dampak atau akibatnya telah di
perhitungkan dengan matang, sehingga hasilnya sesuai dengan yang dikehendaki.
Yang dimaksud dengan ( ) al-amr/urusan
adalah kondisi sesuatu serta sifat dan cirri-cirinya sekaligus sistem yang
mengaturnya. Huruf ( ) al pada kata ini mengandung arti jenis, sehingga mencakup semua makhluk.
Kata ( ) ya’ruju/naik
yang dimaksud adalah kembalinya penentuan segala sesuatu kapada Allah SWT.
Menurut pakar tafsir al-Alusi, yang dimaksud dengan ya’ruju ilaihi/naik
kepada-Nya adalah kemantapan pengetahuan-Nya tentang semua urusan yang ada di
langit dan di bumi, atau tercatatnya amal-amal dalam catatan para malaikat.
Thabathaba’i memahami kata ( ) sama’ bukan dalam arti arah atas, tetapi maqam kedekatan yakni hadirat-Nya. Selain itu bisa juga kata sama’
berarti pusat pengendalian urusan duniawi adalah langit.
Kata ( )
tsuma berfungsi menggambarkan
kehebatan dan keagungan yang dicapai oleh sesuatu dalam perjalanan dari bawah
ke “atas”. Kata ( ) alf/seribu dapat juga diartikan banyak.[2]
( ) “Yang
demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha
perkasa lagi Maha penyayang.” Yaitu Dia yang Maha menyaksikkan
perbuatan-perbuatan hamba-Nya. Dia Maha perkasa yang perkasa terhadap segala
sesuatu. Dia Maha penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
D. Ayat-ayat
Lain Tentang Penciptaan Alam
Pembicaraan al-Qur’an tentang alam semesta ditemukan dalam
ayat-ayat-Nya yang tergelar dalam beberapa surat. Namun, ayat-ayat yang
menjelaskan tentang alam ini masih bersifat garis besar atau prinsip-prinsip
dasarnya saja, karena al-Qur’an bukan buku-buku ilmu pengetahuan umumnya yang
menguraikan penciptaan alam semesta secara sistematis. Atau mungkin kitalah
yang kurang bisa menemukan makna al Qur'an yang sesungguhnya sehingga kita
belum mampu menemkan makna al Qur'an yang menunjukkan secara spesifik tentang
penciptaan alam semesta.
Walaupun demikian, ayat yang secara jelas mengenai
penciptaan alam dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 117, yang berbunyi:
بديع السموات والارض واذا قضى امرا
فإنما يقول له كن فيكون (البقرة: 11)
“Allah pencipta
langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
(cukuplah) Dia hanya mengucapkan kepadanya “jadilah” lalu jadilah ia.”[3]
Dari ayat di atas dapatllah kita ketahui bahwa Allah
SWT-lah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam yang tidak
dapat disangkal di samping pemeliharaanya yang maha pengasih. Karena
kekuasaanya bila Ia hendak menciptakan bumi dan langit, Dia hanya mengatakan
“jadilah”. Dan ayat-ayat lain tentang kejadian alam
telah ditafsirkan melalui filsafat sains dan agama.
Selain ayat di atas yang telah dipaparkan, masiha ada banyak
lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan penciptaan alam di antaranya adalah
dalam surat Hud ayat : 7. Yang berbunyi:
وهوالذي خلق السموات والارض في سنة
ايام وكان عرشه على الماء ليبلوكم ايكم احسن عملا ولئن قلت
انكم مبعوثون من بعد الموت
ليقولن الذين كفروا ان هذا الا سحر مبين (هود: 7)
“Dan Dia-lah yang menciptakan
ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardh) dalam enam tahapan atau periode, dan
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas zat air (al-ma’), agar Dia menguji
siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnnya, dan jika kamu berkata (kepada
penduduk Mekkah) : “sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati,” niscaya
orang-orang yang kafir itu akan berkata : “ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”[4]
Ayat di atas mengungkapkan bahwa penciptaan alam semesta
selama enam masa tahapan atau periode dan Arsy Allah ketika berlangsungnya
proses penciptaannya di atas air atau sop kosmon (al-ma’). Singgasanya
merupakan kinayah atau kiasan, karena untuk melukiskan Allah seperti halnya
raja-raja atau penguasa di dunia yang mempunyai singgasana merupakan sikap yang
tidak dapat ditoliler Islam. Namun bila dilihat dalam
literatur lain, mengenai apa itu arsy tentu muncul berbagai perdebatan yang
sangat signifikan.
Pertama, menurut Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manar
menjelaskan bahwa arsy merupakan “pusat pengendalian segala persoalan
mahluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan ini berdasarkan pada Surat Yunus ayat
3,
ثم استوى على العرش يدبر الأمر
(يونس:3)
“Kemudian Dia bersemayam di atas arsy (singgasana) untuk mengatur
segala urusan”[5]
Kedua, Jalaluddin as-Suyuti (pengarang tafsir ad-Durr
al-Mantsur fi tafsir bi al-Ma’tsur) menjelasakan, arsy itu melekat pada kursi
yang mana para malaikat berada di tengah-tengah kursi tersebut dan
dikelilingi oleh empat buah sungai. Sungai pertama berisi cahaya yang
berkilauan, sungai yang kedua bermuatan salju putih, ketiga sungai yang penuh
berisi air, dan keempat berisi api yang menyala kemerahan. Sedangkan menurut
Abu asy-Syaih mengatakan arsy diciptakan dari permata zamrud hijau, sedangkan
tiang-tiang penopangnya dari permata yakut merah.
Kata al-sama’ yang lazim diartikan dengan langit, harus
dipahami sebagai ruang alam yang di dalamnya terdapat galaksi-galaksi,
bintang-bintang, dan lainnya, berputar mengelilingi sumbunya dan pada
dinding-dindingnya menempel bintang-bintang. Sedangkan kata al-ardh yang biasa
diartikan bumi harus dipahami dengan materi, yakni bakal bumi yang sudah ada
sesaat setelah Allah menciptakan jagad raya. Karena menurut penelitian ilmuwan,
bumi baru terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu di sekitar matahari, dan
tanah bumi baru terjadi sekitar 3 milyar tahun yang lalu sebagai kerak di atas
magma.
Ayat yang kedua mengenai alam juga tercatat dalam surat
al-Anbiya’ ayat 30, yang berbunyi:
اولم يرى الذين كفروا ان السموات
والارض كانتا رتقا ففقناهما جعلنا من الماء كل شيئ حي افلا يؤمنون
“Dan apakah orang-orang kafir tidak
menetahui bahwasannya ruang alam dan materi (al-ardh) itu keduanya dahulu
adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air
(al-ma’) Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada
beriman juga. ”(QS, al-Anbiya’:30).[6]
Dalam surat ini disebutkan informasi bahwa dahulu ruang alam
(al-sama’) dan materi (al-ardh) adalah menyatu sebelum dipisahkan, dan kemudian
dijelaskan pula tentang air yang daripadanya dijadikan segala sesuatu yang
hidup.
E. Manfaat
Alam bagi Kehidupan Manusia
Alam pada dasarnya adalah untuk kepentingan manusia. Dengan
alam, manusia bisa bertempat tinggal, mencari makan, dan lain sebagainya, yang
akhirnya dengan semua itu agar manusia dapat beribadah / menyembah kepada Allah
(li ya’budun).
1. Tempat
Mencari Makan
Alam semesta merupakan tempat bagi semua makhluk yang ada di
alam semesta ini. Salah satu dari manfaat dari alam semesrta adalah sebagai
tempat untuk mencari makan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang
berbunyi:
وجعل فيها روسى من فوقها وبارك فيها
وقدر فيها أقوانها في اربعة ايام سواء للساءئلين (الفصلات: 10)
“Dan Kami ciptakan padanya gunung
yang kokoh di atasnya. Dan kemudian Dia berkahi dan Dia tentukan makanan bagi
(penghuni) nya dalam empat masa, memadahi untuk (memenuhi kebutuhan) mereka
yang memerlukan.” (S. Fushilat : 10).[7]
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa bumi ini
merupakan tempat makhluk untuk mencari makan. Yang sebenarnya adalah bahwa
menurut kami bukan hanya bumi saja yang merupakan sarana untuk mencari makan
untuk manusia, akan tetapi benda-benda langit lainnya pun merupakam
darana untuk mencari makan. Seperti astronot atau ahli falak yang menggunakan
pengetahuan benda langitnya sehingga mereka bisa mendapatkan rizki dari ilmu
yang mereka ketahui yang kemudian mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan
makannya.
2. Sumber
Perhiasan
Selain sebagai sarana untuk mencari makan, alam semesta yang
kami khususkan pada bumi ini juga mempunyai manfaat bagi kita sebagai sumber
dari perhiasan. hal ini dapat kita fahami dari ayat Allah SWT yang berbunyi:
وتستخرجوا منه حلية تلبسونها (النحل:
14)
“Dan kamu mengeluarkan dari lautan
itu perhiasan yang kamu pakai.” [8]
Selain kedua manfaat itu masih banyak sekali manfaat-manfaat
lain yang dapat kita temukan di sekitar kita, dan tidak mungkin sekali bisa
disebutkan semuanya. Intinya, alam ini diciptakan oleh Allah guna memenuhi
kebutuhan manusia
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
alam semesta diciptakan melalui beberapa proses yang dalam
al-Qur’an menyebutkan bahwasannya bumi, langit, dan seisinya terbentuk dalam
enam masa. Di dalamnya terdapat fenomena atau gejala-gejala yang sangat luar
biasa yang dapat kita saksikan. Allah tidak menciptakan itu semua dengan
sia-sia. Dan ini semua diperuntukkan kepada menusia agar mereka mengetahui
keagungan-keagungan-Nya dan supaya mereka menyembah kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Shihab, M. Quraish.
2002. Tafsir Al-Misbah Vol 11. Lentera
Hati: Jakarta. Cetakan ke-VI
·
Ghofar, M. Abdul. 2008.
Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Imam
Asy-Syafi’i: Jakarta.
Read Users' Comments (4)